NYSSENATE31 – Peristiwa yang dikenal sebagai Tragedi Gerakan 30 September atau G30S/PKI menandai salah satu babak paling gelap dalam sejarah Indonesia. Kejadian ini bermula pada tahun 1965 dan memicu serangkaian peristiwa yang mengakibatkan perubahan dalam peta kekuasaan politik Indonesia serta pembantaian besar-besaran yang menggoyahkan dasar-dasar bangsa. Artikel ini akan mengeksplorasi konteks, peristiwa, dan konsekuensi dari tragedi ini.
Di era awal tahun 1960-an, Indonesia mengalami ketegangan politik dan sosial yang tinggi. Presiden Soekarno, pemimpin negara saat itu, menganut politik ‘Nasakom’, yang merupakan akronim dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Partai Komunis Indonesia (PKI), dalam periode tersebut, berkembang menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Tiongkok. Kekuatan PKI yang semakin besar menimbulkan kekhawatiran di kalangan militer dan kelompok Islam.
Pada tanggal 30 September 1965, sejumlah perwira militer yang tergabung dalam “Gerakan 30 September” (G30S) berupaya melakukan kudeta dengan menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat, termasuk Jenderal Ahmad Yani, serta beberapa perwira lain. Mereka menyatakan bahwa upaya ini dilakukan untuk mencegah kudeta dari “Dewan Jenderal” yang anti-Soekarno.
Kudeta tersebut gagal ketika Mayor Jenderal Soeharto, komandan Kostrad, mengambil langkah cepat untuk menangani dan memadamkan gerakan tersebut. PKI dituding sebagai otak di balik G30S, meski keterlibatan langsung PKI dalam kejadian tersebut masih menjadi topik yang diperdebatkan sampai sekarang.
Pasca kejadian kudeta tersebut, Soeharto menggerakkan militer untuk menstabilkan situasi. PKI dan para pendukungnya menjadi target dari tindakan represif. Estimasi menyebutkan bahwa antara ratusan ribu hingga satu juta lebih orang yang dituduh sebagai anggota atau simpatisan PKI dibunuh dalam aksi pembantaian massal yang dilakukan oleh militer dan kelompok sipil anti-komunis.
Presiden Soekarno yang sudah mulai goyah kemudian kehilangan dukungan dan kekuasaan eksekutifnya, dan secara formal digantikan oleh Soeharto pada tahun 1967. Berakhirnya kekuasaan Soekarno menandai penutupan era ‘Demokrasi Terpimpin’ dan permulaan ‘Orde Baru’ di bawah pemerintahan Soeharto.
Dampak dari peristiwa G30S/PKI sangat signifikan dan berkepanjangan bagi Indonesia, baik secara sosial maupun politik. Pembantaian pasca-tragedi tersebut menjadi salah satu kejahatan kemanusiaan terbesar di abad ke-20. Sementara itu, bagi banyak keluarga korban, tragedi ini meninggalkan luka yang dalam karena keadilan yang sering kali tidak terpenuhi.
Dari segi politik, insiden ini menandai berakhirnya PKI sebagai kekuatan politik di Indonesia dan memasuki era Orde Baru, yang di satu sisi diiringi dengan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain diwarnai dengan represi politik, pembatasan kebebasan sipil, dan korupsi yang merajalela.
Peristiwa G30S/PKI merupakan titik balik yang mengubah arah sejarah Indonesia, dengan dampak yang dirasakan hingga beberapa dekade berikutnya. Walaupun banyak kajian dan penelitian telah dilakukan, masih ada debat dan diskusi mengenai berbagai aspek dari peristiwa tersebut, termasuk pihak yang sebenarnya paling bertanggung jawab atas kudeta dan pembantaian yang terjadi. Yang jelas, tragedi ini telah menjadi bagian yang tak terlupakan dari ingatan kolektif bangsa Indonesia.